
Surabaya Kocar Kacir Lawan Covid-19
Semboyan Surabaya yang salah "LAWAN COVID 19" membuat Kota Pahlawan ini dibuat kocar-kacir oleh Covid-19. Selain salah dalam memilih semboyan "LAWAN COVID-19" warga Surabaya tampak tidak terlalu antusias dengan "ungkapan Perang Perlawanan" yang dikobarkan oleh Pemkot Surabaya, Bu Risma, melawan makhluk mikro tak kelihatan mata Covid-19. Mungkin para pejabat Pemkot Surabaya lupa, Covid-19 bukan seperti tentara sekutu yang puluhan tahun lalu datang menyerbu kota Surabaya. Kendaraan perang berat, pesawat tempur tentara Gurkha, yang terlihat mata menduduki pusat-pusat kota Surabaya.
Covid 19 makhluk mikro yang datang tidak terlihat oleh mata sama sekali. Bahkan mikroskop sekalipun tak mampu melihat kecuali dengan pembesaran yang dilakukan berkali kali lipat.
Bagaimana melawan sebuah makhluk ajaib ciptaan Tuhan yang mematikan ini ? Mungkin perlu mengubah semboyan yang tidak begitu tepat "LAWAN' dengan "TANGANI" atau "KENDALIKAN". Karena tidak ada pertempuran dan perkelahian atau perlawanan yang bisa kita lakukan dengan Virus ini.
Bagaimana melawan makhluk yang hanya hidup dan bergerak dengan sunnatullah ? Jawabannya adalah Menangani dan mengenndalikan nya dengan Sunnatullah juga. Social Distancing, Masker, New Normal, anti virus. Dan apa yang dilakukan itu bukanlah bentuk perlawanan, akan tetapi hanya proses mengendalikan gerakan virus agar tidak secara bebas memasuki titik-titik tubuh manusiayang fatal jika dimasuki dan diaktivasi oleh Virus.
Kematian Dan Infeksi Meluas

Akan tetapi statistik Surabaya yang mengerikan ini tidak mengubah apapun di Surabaya. Volume kegiatan masyarakat memang menurun. Akan tetapi jumlah penurunan ini tidak seberapa dengan aktivitas masyarakat yang masih sangat tinggi, seakan-akan masyarakat tidak perduli dengan realitas angka pembunuhan massal oleh Covid yang mengerikan ini.
Masjid masjid sudah mulai dibuka dengan bebas. Di beberapa lokasi di Surabaya sholat 5 waktu telah dijalankan dengan penuh di masjid masjid. Dan tabligh yang melibatkan puluhan orang banayak di temukan di beberapa sudut kota Surabaya. Para pengikut jamaah tabligh tidak menggunakan masker dan sama sekali tidak memahami makna social distancing. Beberapa tokoh agama lokal bahkan dengan sangat yakin mengatakan bahwa Covid-19 tidak akan menyentuh mereka karena mereka menjalankan aktivitas ibadah yang sungguh sungguh kepada Tuhan. Seakan mereka semua lupa bahwa tawakkal pada kuda atau onta dilakukan setelah kuda atau onta itu diikat terlebih dahulu. Kalau tidak diikat, maka menjadi sebuah resiko yang pantas dialami jika kuda atau onta itu lepas. Karena sebuah hukum sunnatullah tetap berjalan meski sebuah ibadah kebaktian dilakukan kepadaTuhan. Kegagalan memahami logika beragama yang tepat ini, membuat naiknya ancaman yang terbuka pada hidup dan berkembangnya kembalinya rantai penyebaran Covid 19.
Sejak beberapa bulan terakhir, Surabaya telah mencatat korban meninggal yang dramatis. Keterbukaan informasi yang ada di Kota Surabaya dan juga Provinsi Jawa Timur, patut diacungi jempol. Berbeda dengan kebijakan Nasional yang terkesan dan berusaha menyembunyikan semua informasi penting korban dengan tujuan yang tidak jelas, Provinsi Jawa Timur termasuk Surabaya membuka semua informasi dengan sangat terbuka.
Sungguh mengherankan, kebijakan nasional yang memaksa memberi kode-kode rahasia kepada mereka yang terkena infeksi Covid 19. Kebijakan yang melanggar ketentuan Undang-Undang Pokok Pers dan Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan dengan berani dijalankan di bawah perintah dan payung tafsir implementasi Undang-Undang Kesehatan yang salah.
Berbeda dengan kebijakan Nasional yang menggunakan alasan rezim Undang Undang Kesehatan, Jawa Timur termasuk Surabaya dengan berani menerapkan protokol yang jauh lebih terbuka. Semua informasi disajikan dengan sangat terbuka kepada publik. Bahkan informasi kematian mereka yang ODP dan PDP disajikan dengan sangat terbuka. Kebijakan yang cenderung melawan gaya penyajian tingkat Nasional yang cenderung mengabaikan atau sengaja tidak menampilkan jumlah kematian ODP dan PDP. Kebijakan Pemprov Jatim termasuk Surabaya ini membongkar banyak hal yang tidak beres, akan tetapi membuka peluang perbaikan dengan jauh lebih cepat dan terbuka.
Beberapa waktu yang lalu Surabaya dihebohkan dengan korban bayi dan seluruh keluarganya yang positif di tengah kota. Awal Juli (5/7) yang lalu keluarga dokter, seorang paman dan keponakannya kembali meninggal menjadi korban Covid-19.
Sebagaimana yang diunggah oleh Surya.co.id korban paman dan keponakan ini adalah dr Putri Wulan Sukmawati (33 Tahun) dan pamannya dr Arief Basuki, salah satu dokter ahli anestesi di Rumah Sakit Haji Surabaya.
Dokter PPDS Unair (mahasiswa kedokteran spesialis ANAIR), dr Putri Wulan Sukmawati meninggal dunia akibat terpapar covid-19, Minggu (5/7/2020). menyusul pamannya yang telah meninggal terlebih dahulu 1 minggu sebelumnya (30/06/2020)
Data kematian ini dengan terbuka diungkapkan bahkan secara terus terang oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur.
Gugurnya dua dokter pelayan pasien Covid-19 ini menyusul 14 Dokter lain yang telah meninggal akibat Covid 19. Sementara itu dari IDI Jawa Timur diungkapkan ada 94 dokter lain yang saat ini dalam kondisi positif terinfeksi Covid 19. Data ini menyusul 5 Dokter PPDS Unair teman Dokter Putri yang juga terpapar Covid 19.
Kondisi Surabaya, Jawa Timur yang mengerikan ini, membuat pemkot Surabaya berencana melakukan penutupan kembali wilayah kota Surabaya dengan level pemberlakukan keketatan dibawah level PSBB. (ES/TNW)