Oleh :
Syech Al Syarif Al Jalal Al Husein
Kebenaran yang tak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir. Kedholiman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang yang jahat akan tetapi karena diamnya orang-orang yang baik
(Ali Bin Abi Thalib)
Saling klaim kemenangan yang membuat bingung publik terjadi setelah pencoblosan Pemilu 2019, pada 17 April yang lalu. Data-data kecurangan yang tersebar luas di berbagai wilayah menjadi bukti adanya sebuah ketidakberesan pengelolaan sistem Pemilu 2019.
Pemelintiran akal sehat dengan menganggap hasil sampling sangat terbatas quick account akurat, bukan hanya sekedar parameter pembantu, juga memberikan sebuah indikasi kesengajaan yang dibuat-buat. Bagaimana mungkin hasil sampling terbatass dilawankan dengan hasil realcount (perhitungan real) ?
Serangan cyber yang berseliweran selama Pemilu 2019 yang terjadi dan dianggap tidak pernah ada menjadi sebuah pertanda betapa berbahaya nya kondisi demokrasi di Indonesia, di tengah klaim kegiatan Pemilu Demokratis Terbesar se dunia. Sekaligus Pemilu yang paling membuat kacau akal sehat.
Seluruh dalil akal sehat dibantah dengan sangat santainya, human error, itu semua akibat adanya human error. Dan dalil human error tersebut menjadi menguat dengan data jumlah petugas terlibat Pemilu yang sakit dan meninggal dunia.
Sungguh alur cerita jalan menuju kemenangan Pemilu 2019 sangat terlihat terang dan jelas saat dilakukan analisis mendalam di desk analisis para kuli tinta. Dan pembuat biang keributan, kegaduhan, dan ketidakpastian logis Pemilu 2019 telah terlihat jelas dalam Pemilu 2019 ini.
KESALAHAN MENDASAR : ASPEK BOBROKNYA REGULASI CYBER KPU
Keributan dan kegaduhan dalam Pemilu 2019 ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Keributan yang terjadi disebabkan oleh gagalnya pemenuhan prosedur keamanan dalam menjaga validitas data dari saat pemilih mencoblos pilihan politiknya ke tingkat tampilan publik dan ke tingkat pengambilan keputusan akhir.
Pengumuman final pemungutan suara Pemilu 2019 akan dilakukan oleh KPU pada tanggal 22 Mei 2019 yang akan datang. Tanggal pengumuman ini lebih dari satu bulan dari waktu pencoblosan 17 April 2019 yang lalu. Jeda waktu yang sangat panjang antara detik waktu pencoblosan dan waktu pengumuman memberikan gambaran sekilas, betapa rapuh dan berbahayanya integritas validitas data hasil Pemilu 2019.
Bagaimana menjaga validitas data dari 810 ribu lebih TPS di 6524 Kecamatan dengan jumlah data 190 juta lebih pemilih, mengarungi waktu lebih dari 30 hari ? Dan data yang luar biasa besar ini adalah data yang sangat mahal, karena yang memenangkan data ini maka akan memiliki kekuasaan untuk mengendalikan dana 3000 Trilyun Rupiah per tahun selama 5 tahun atau 15 ribu Trilyun rupiah lebih selama 5 tahun. Mengendalikan negeri dengan 300 juta manusia, dengan jutaan trilyun sumber daya alam yang tergelar dan tinggal olah, dan negara dengan 34 Profinsi dengan tingkat kompleksitas tertinggi di dunia.
Fokus utama yang harus dilakukan oleh lembaga yang terkait dengan data ini adalah menjaga validitas data, agar tidak ada satu pun lubang untuk membuat data menjadi tidak valid, invalid. Data yang sangat berharga ini harus dijaga dengan super ketat agar tidak dengan mudah validitasnya digoyang oleh sekedar pernyataan human error, teori konspirasi, atau oleh sampling tidak berguna quick count dalam menghadapi kompleksitas yang harus dihadapi oleh validitas data.
Pengelola data harus memahami, bahwa begitu pentingnya data hasil Pemilu 2019 ini, maka seharusnya seluruh aktivitas yang mengundang polemik terhadap validitas data harus ditutup, dan dilarang.
Proses penampilan data hitung cepat dan sebagainya, haruslah dibuat dalam kerangka menjaga agar tingkat validitas data meningkat, bukannya malah membuat tingkat kepercayaan terhadap validitas turun.
Geger besar saat pengumuman sampling quick count, beserta berbagai sandiwara kesalahan yang dibuat oleh media massa (karena alasan kesalahan manusia, atau kesalahan sistem) adalah sebuah proses membuat validitas data menjadi berkurang. Dan dalam sebuah hajat politik yang serius dan bukan main-main, harus diberikan ganjaran yang tegas. Mereka yang membuat tingkat validitas data hasil Pemilu menjadi berkurang harus dihukum dengan berat. Karena begitu besar hal penting yang dikorbankan oleh ulah mereka yang ceroboh terhadap proses penjagaan validitas data.
Yang menjadi fokus utama dalam Pemilu 2019 semestinya adalah Validitas Data, bukan Kemenangan kubu peserta Pemilu. Karena Kemenangan yang terjadi hanyalah sebuah turunan saja dari proses penjagaan validitas data.
Dari pola pikir seperti inilah maka terlihat dengan jelas betapa penyelenggara Pemilu dan pihak yang terkait dengan proses penyelenggaraan Pemilu telah melupakan hal paling mendasar dalam proses demokrasi raksasa ini. Pemilu Republik boleh menjadi Pemilu terbesar di dunia, akan tetapi apa yang bisa dibanggakan jika validitas suara rakyat ternyata secara prinsip tidak pernah menjadi perhatian utama.
PELANGGARAN MENDASAR UU ITE
Kesalahan input yang dilakukan oleh petugas di lapangan ke sistem KPU, tidaklah semata-mata bisa dihukumi karena human error atau kesalahan manusiawi semata. Sebagaiama yang selalu dijakdikan alasan dan tesis saat kesalahan tersebut terbongkar. Akan tetapi kesalahan mendasar ini diancam hukuman oleh UU Informasi dan Transaksi Elektronik UU No.11/2008 jo UU.19/2016. (UU ITE resmi diberlakukan pada tanggal 21 April 2008 yang lalu, tepat 11 tahun yang lalu di bulan April yang sama dengan Pemilu 17 April 2019 ini)
Pada saat kasus ini terbuka di ranah publik maka secara otomatis PPNS (Petugas Penyidik PNS) yang diangkat oleh Kominfo berdasarkan UU ITE, seharusnya bergerak aktif menelusuri siapa saja yang telah melakukan kesalahan input dengan alasan apapun dan menyeretnya ke ranah hukum.
Akan tetapi yang dilakukan oleh Kominfo sungguh sangat jauh dari amanah UU ITE. Kominfo justru menutup sebuah situs yang menampilkan sebuah data real count www.jurdil2019.org yang sebenarnya memiliki nilai lebih dalam memberikan tingkat validitas data hasil Pemilu. Tidak mengejar www.jurdil2019.net yang memutar balikkan data awal dari www.jurdil2019.org akan tetapi malah melakukan proses yang melemahkan tingkat validitas data atau paling tidak menimbulkan prasangka pada validitas data hasil Pemilu.
Kesalahan proses input data hasil Pemilu tidak semata-mata dihukumi berdasarkan UU Pemilu semata. Karena proses input data yang dilakukan bersentuhan dengan sistem elektronik yang digunakan oleh KPU dalam mendukung proses kerja mereka. Seluruh proses input data yang dilakukan di 6524 lebih kecamatan di seluruh Indonesia wajib dan harus diawasi oleh PPNS Kominfo sebagai penjaga dan penegak Undang-Undang Informasi dan Transasksi Elektronik.
Lebih dari itu, seluruh lokasi input data di 6524 kecamatan di seluruh Indonesia, harus mendapatkan sertifikasi dari Kominfo berdasarkan standar keamanan sistem elektronik berdasarkan UU ITE. Apakah seluruh titik input KPU di seluruh Indonesia telah mendapatkan sertifikasi ISO 270xx/SNI 2700x pada saat digunakan untuk melakukan proses input data?
Apakah seluruh komputer di tingkat KPU kota/Kabupaten yang digunakan telah memiliki sertifikasi dari sisi fisik, teknis, dan prosedur ? Dan apakah sertifikasi internasional ISO 2700X/SNI 2700X telah dimiliki ? Bagaimana dengan komputer di tingkat KPU Provinsi dan di tingkat Nasional ? Apakah KPU telah melakukan pengumuman kepada publik, bahwa sistem elektronik yang digunakan oleh mereka memang telah mendapatkan sertifikasi internasional? Kapan itu dilakukan ? Mengapa publik tidak pernah mendapatkan berita pengumman itu ?
Mengapa di situs resmi KPU, tidak dicantumkan bahwa situs dan sistem informasinya telah memiliki standar internasional tersebut ? (Lihat Sceeenshot Situs KPU, www.kpu.go.id, per 24/4/2019)
Pertanyaan lain yang perlu diajukan dengan serius adalah mengapa lembaga negara lain yang terkait dengan implementasi UU ITE membiarkan ini terjadi ? Sebuah lembaga negara yang melakukan kerja demokrasi raksasa dengan memanfaatkan sistem elektronik, akan tetapi sistem elektroniknya teryata tidak memiliki sertifikat keamanan elektronik berdasarkan ISO ? Apakah event Pemilu adalah sebuah event main-main yang tidak serius ? Dan pada saat kesalahan dibuat di tingkat operator input data, dengan sangat sederhana dikatakan sebagai sebuah human error ?
SISTEM ELEKTRONIK HARUS SERIUS
Penyelenggara Pemilu dan pihak pendukung lainnya harus menyadari dengan baik bahwa Pemilu adalah sebuah proses yang serius, jauh dari main-main, dan dagelan politik yang banyak ditampilkan oleh politisi menjelang, pada saat dan pasca Pemilu. Dagelan Politik dilakukan untuk membuat legitimasi tak terkalahkan terhadap aksi apapun yang dilakukan oleh sang politisi.
Akan tetapi Pemilu dan seluruh hasil-hasilnya berbasiskan pada legitimasi validitas data hasil coblosan rakyat. Dan seluruh proses yang dilakukan selayaknya harus diarahkan kepada proses menjaga validitas data. Karena menjadi sebuah kesia-siaan sebuah pesta Demokrasi terbesar sedunia, jika ternyata validitas datanya menjadi rapuh.
Penggunaan sistem elektronik akan mempercepat proses perhitungan di 810 ribu lebih TPS, akan tetapi apakah sistem yang digunakan telah bebas dari cacat ? apakah sudah memiliki sertifikasi internasional ? Apakah para penyelenggara memahami ini semua ?
Mengapa pada saat awal proses perhitungan suara server KPU down selama lebih dari 6 jam ? Bagaimana standar pengelolaan sistem KPU ini berdasarkan sertifikasi internasional. Apakah down server ini sudah sesuai dengan standar internasional. Bukan kemudian dianggap sebagai sebuah peristiwa biasa.
" Biasa server KPU menjadi down, karena banyak warga negara yang mengakses sistem, sehingga sistem menjadi down..." begitu komentar salah satu oknum Pejabat KPU saat ditanya oleh media.
Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Bagaimana sistem berskala besar yang serius bisa mentolerir peristiwa ini ? Mengapa tidak ada interogasi forensik dari PPNS terkait UU ITE pada saat kejadian ini terjadi ? Mengapa sistem elektronik KPU tidak dilakukan penyegelan karena telah down di saat proses perhitungan awal baru dilakukan pada tanggal 18 April yang lalu ? Tentu saja penyegelan sistem perlu dilakukan, untuk mencegah ancaman lebih lanjut pada validitas data. Mengapa hal ini tidak dilakukan ?
Euforia publik diarahkan ke pertentangan yang muncul akibat proses klaim kemenangan antar berbagai pihak yang terlibat dalam pemilu. Akan tetapi nalar publik tidak diarahkan menuju nalar yang sehat yang berbasis validitas data. Nalar publik hanya diarahkan pada dampak politik yang terjadi saat sebuah proses perhitungan dilakukan, sesuai dengan kehendak publik itu sendiri.
Akan tetapi lembaga-lembaga negara yang dikendalikan oleh sumber daya manusia terbaik negeri ini, seharusnya tidak boleh membiarkan publik tenggelam dalam pengarahan hasil pemilu kepada kepentingan politik. Para pengendali lembaga negara terkait pemilu, harus konsentrasi penuh pada proses penjagaan validitas data hasil Pemilu, bukan larut pada berbagai aksi lempar politik yang dilakukan oleh aktor politik untuk mendukung kemenangan yang mereka inginkan dengan cara apapun. Lembaga negara harus mampu menampilkan kemenangan dalam Pemilu dalam sebuah kerangka sistem elektronik yang serius, yang mampu menampilkan tingkat validitas data terbaik, untuk mendukung kehormatan yang diberikan oleh dunia pada proses Demokrasi terbesar ini. Lembaga negara harus mampu menampilkan respon yang tepat dengan menampilkan validitas data yang benar-benar terjaga dengan baik.
FORMULIR CI PLANO ASLI HARAPAN SATU-SATUNYA
Sistem elektronik Pemilu yang tidak memiliki sertifikasi internasional, membuat seluruh perhitungan dan proses input data menjadi tidak valid, berdasarkan berbagai kaidah standar internasional sistem elektronik yang dianut oleh UU ITE. Karena sistem yang tidak memiliki standar ISO 2700x misalnya hanya disetarakan dengan sistem yang dimiliki oleh warnet pinggir jalan yang memang menjadi sistem publik untuk tujuan mainan dan bukan tujuan serius kenegaraan, seperti Pemilu.
Untuk meningkatkan sistem yang telah ada menjadi semi valid atau bahkan valid, maka semua unsur yang ada di dalam UU ITE harus digerakkan. PPNS yang menjadi salah satu unsur utama penegak hukum UU ITE harus turun dan melakukan pemeriksaan di seluruh lokasi input 6524 kecamatan di seluruh Indonesia. Kominfo harus segera menurunkan seluruh PPNS nya untuk melakukan proses check and re check sistem yang digunakan KPU di seluruh Indonesia. PPNS juga harus segera melakukan penangkapan dan interogasi serius terhadap semua kasus human error yang diumumkan ke publik atau laporan dan lainnya, dan bukan membiarkan semua prosesnya berjalan tidak terkontrol.
Berdasatkan amanah UU ITE, maka PPNS Kominfo berhak turun lapangan tanpa harus berkoordinasi dengan KPU atau Banwaslu misalnya, karena domain yang menjadi amanah adalah domain teknis. Akan tetapi ini mungkin adalah sebuah proses yang berat. Karena publik tidak pernah tahu berapa jumlah PPNS yang telah dimiliki oleh Kominfo untuk menghadapi kejadian luar biasa seperti Pemilu raksasa 2019 ini. Apakah kualifikasi PPNS yang dimiliki telah mumpuni ? Apakah kuantitasnya memenuhi ?
Satu satunya kekuatan yang mendukung validitas data hasil Pemilu saat ini adalah dokumen C1 Plano asli. Saat semua komponen sistem elektronik yang digunakan tidak tersertifikasi internasional, maka proses sertifikasi dan penjagaan validitas dilakukan pada dokumen C1 Plano. Dan proses penjagaan C1 Plano untuk menjaga validitas data ini harus dilakukan dengan menghapus semua proses antara yang muncul di tingkat kecamatan, Kota/Kabupaten, Provinsi, dan Nasional.
Proses verifikasi cukup dilakukan satu kali dari TPS ke Tabulasi Nasional. Sistem Tabulasi Nasional cukup melakukan satu kali proses verifikasi C1 Plano, secara langsung dari petugas TPS yang telah disumpah untuk menyampaikan data dan direkam oleh saksi-saksi yang ada.
Dengan demikian hasil Tabulasi Nasional adalah hasil asli dari C1 Plano TPS yang tidak diolah lagi atau diinput ke dalam sistem bertingkat dari tingkat kecamatan, Kota/Kabupaten, Provinsi, dan Negara. Seluruh warga negara menjadi tahu dengan pasti bahwa tabulasi Nasional adalah hasil dari C1 Plano yang telah diverifikasi satu kali secara langsung tanpa melalui proses bertingkat yang sangat mengganggu tingkat validitas data hasil Pemilu.
Akan menjadi sangat sulit proses yang dilakukan, karena proses check akan dilakukan satu demi satu di tingkat Nasional untuk 810 ribu TPS di seluruh Indonesia. Akan tetapi hal ini bukannya tidak mungkin dilakukan. Teknologi yang tersedia saat ini, mampu mendukung proses penjagaan validitas data seperti ini.
Jika setiap TPS membutuhkan waktu 1 detik (hanya pengandaian, tidak mungkin dilakukan dengan manual) untuk pelaporan ke Pusat Tabulasi Nasional, maka akan dibutuhkan 13.500 menit untuk menyelesaikan seluruh proses di seluruh Indonesia. Atau 225 jam atau kurang lebih 10 hari kurang. Jika proses verifikasi TPS ke Pusat Tabulasi Nasional dilakukan 2 detik maka akan dibutuhkan waktu kurang lebih 20 hari. Dan waktu ini dibutuhkan jika proses dilakukan tanpa jeda, tanpa gangguanapapun, 24 jam tidak berhenti.
Sampai dengan tulisan ini dibuat, masih ada waktu kurang lebih 30 hari lagi untuk menampilkan hasil perhitungan yang lebih berorientasi pada validitas data. Dan jika ini dilakukan, maka seluruh polemik berlarut dan berkepanjangan yang terjadi akibat Penconblosan 17 April kemarin akan berhasil di atasi. Validitas data menjadi naik, kepercayaan publik akan pulih, dan seluruh tipu-tipu politik akan musnah.
Apakah prinsip sistem seperti ini atau yang setara dengan sistem yang diusulkan ini bisa dilakukan dalam jangka waktu yang cepat ? Jika ada sebuah pengelola sistem negara yang memahami dan sadar apa yang telah terjadi sebenarnya, masih akan ada waktu yang cukup untuk menggelar sistem seperti ini. Akan tetapi jangan pernah ada bayangan bahwa dibutuhkan sebuah kudeta besar untuk untuk mengambil alih proses perhitungan yang telah dilakukan dan coba dinodai oleh para pembuat turunnya validitas data. Karena proses seperti itu adalah gaya lama yang meski akan mampu menjaga validitas data, tidak lagi populer dan mendapatkan dukungan publik. Publik membutuhkan sebuah manuver yang cantik dari lembaga negara terkait yang menyadari arti penting penjagaan validitas data ini dan memperjuangkan proses yang lebih baik dalam menjaga validitas data. Masih ada waktu sampai 22 Mei.
Semoga, hasil pemilu dengan validitas data terjaga yang akan diumumkan oleh KPU bisa memahami
betapa pentingnya validitas data. Dan betapa tidak bergunanya proses-proses dagelan politik yang hanya ingin menang dalam Pemilu hanya berdasarkan dukungan data palsu yang validitasnya diganggu oleh human error dan faktor-faktor sihir publik lain yang menjauhkan realitas Pemilu dari data valid yang telah diberikan oleh rakyat kepada calon yang dipercaya untuk membawa amanah besar dan raksasa di negeri yang sangat besar ini. Sehingga tidak lagi kita semua menjadi saksi dan bukti bahwa kata-kata pesan Ali Bin Abi Thalib di awal tulisan ini, yang disampaikan 1500 tahun yang lalu, menjadi sebuah kenyataan di negeri Nusantara tercinta kita ini.
* Penulis adalah Anggota team Teknis Penyusun UU Informasi Dan Transaksi Elektonik, UU No.11/2008 jo 19/2016
Hasil Sidak DPR Situng KPU BOBROK
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon bersama Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria, (3/5/2019) menggunakan hak pengawasan melakukan sidak ke KPU untuk membuktikan dugaan cacat Situng KPU.Sidak yang dilakukan Fadli dan Riza berlangsung selama tiga jam. Ada lima dugaan cacat Situng KPU versi Fadli. Berikut ini selengkapnya:
1. Kelemahan pertama, menurut Fadli, terletak pada sistem penghitungan yang dibangun. Situng KPU saat ini tak dilengkapi sistem koreksi dini pada tahapan input data. Padahal untuk menerapkan fungsi tersebut, menurut beberapa ahli IT, hanya membutuhkan bahasa pemrograman yang sederhana.
2. Kelemahan kedua, dalam proses input masih ada data yang tak dilengkapi hasil scan lembar C1. Info dari KPU, sempat ada sekitar 1 juta file tanpa pindaian C1. Menurut KPU RI, hal tersebut disebabkan kapasitas penyimpanan data pada sistem yang telah penuh. Sehingga, memori tak bisa menampung file yang dikirim dari KPU daerah.
3. Kelemahan ketiga, terkait tenaga penginput data. Berdasarkan pemaparan ketua KPU, di setiap KPU Kabupaten/Kota terdapat 25 petugas input. Ada juga yang bertugas sebagai verifikator. Mereka inilah yang menjadi ujung tombak proses real count KPU.
Masalah yang kami temukan dari paparan KPU, petugas input kerap juga menjadi verifikator. Mereka inputer tapi juga verifikator. Seharusnya tak boleh. Karena, mustahil akan ada verifikasi data yang berkualitas, jika cara kerjanya tumpang tindih seperti itu. Tugas penginput dan verifikator data harus tegas dipisahkan dan dilaksanakan oleh petugas yang berbeda.
4. Keempat, KPU juga menyatakan tenaga input dan verifikator memiliki IP Address yang berbeda. Namun, ketika dikonfirmasi berapa total jumlah pasti IP Address petugas input data, tak ada yang mampu menyebutkannya. Data dasar seperti ini seharusnya wajib diketahui KPU.
5. Kelemahan kelima, terkait server KPU. Informasi dari hasil pemantauan langsung, server KPU saat ini berada di tiga lokasi. Di kantor KPU, BPPT, dan Sentul. Server utama ditaruh di kantor KPU, sementara di BPPT dan Sentul difungsikan sebagai cadangan.
Setelah melihat langsung ke lokasi server di kantor KPU RI, kondisi ruang penyimpanan server sangat tidak representatif. Sistem yang digunakannya juga sederhana. Operating system-nya menggunakan linux, database mysql, dan program php. Program-program tersebut bahkan bisa diperoleh gratis. Secara fisik, server KPU itu tak representatif. Seorang ahli IT menaksir dari segi biaya server KPU itu di kisaran 1-2 miliar rupiah. Begitupun dengan operation room-nya.
Berdasarkan keterangan yang saya dapat di lokasi, KPU juga tak menggunakan server bersertifikat ISO (The International Standardization of Organization) 27001. Padahal, sertifikat itu merupakan standar sistem manajemen keamanan informasi, atau dikenal juga dengan Information Security Management System (ISMS). Ketika ditanyakan adakah admin server di lokasi, dijawab tidak ada. Tidak ada yang tahu bagaimana mengakses server, login-nya. Sehingga belum bisa disimpulkan bahwa fisik server KPU itu benar-benar server KPU yang aktif (DT)
Lihat Tajuk Rencana Dan Opini Lebih Lanjut :
(+62)83820657275 (CahayaPress)