Bukan hanya Pendeta Akan Tetapi Para Biarawati
Terancam Perilaku Seksual Menyimpang
Jakarta (News Informatika, 04/05/2019)
Perilaku Seksual Menyimpang Termasuk Pelecehan Seksual menjadi bahaya yang mengancam kinerja layanan umat para pendeta dan biarawati di seluruh dunia.Pertemuan tingkat tinggi khusus yang dilakukan di Eropa Februari 2019 yang lalu menyerukan bahaya perilaku sex menyimpang ini ke seluruh dunia.
Sebuah laporan dari Amerika Serikat berjudul “Anderson Report on Child Sexual Abuse in the Archdiocese and Dioceses" yang berisi kurang lebih 200 halaman, melaporkan 390 pelecehan sex oleh pendeta dan yang mengejutkan dilakukan juga oleh para biarawati.
Laporan ini didukung oleh lembaga nirlaba BishopAccountability, yang menemukan transaksi sebesar 38 Milyar USD yang digunakan untuk membayar dan menutup kasus pelecehan sexual ini dari publik dan juga membayar mereka yang menjadi korban pelecehan.
Laporan detil para korban dan saksi juga diunggah oleh jaringan Fox News Network awal April (04/2019) yang lalu, yang disusul oleh laporan serupa yang diangkat oleh BBC News. Sebuah Majalah majalah perempuan yang terbit di Vatikan, Women Church World, Pada Februari lalu (02/2019) mengutuk pelecehan itu, dan menyatakan bahwa dalam beberapa kasus biarawati dipaksa menggugurkan anak-anak hasil hubungan dengan pendeta.
Secara personal Paus Franciskus dari Tahta Suci Vatican dengan berani mengakui kejadian ini, para biarawati dilecehkan oleh para pendeta, bahkan ada yang telah mencapai tingkat perbudakan seksual para biarawati oleh pendeta. Paus Franciskus menyatakan bahwa Paus sebelumnya Paus Benediktus dengan berani telah membubarkan kelompok biarawati yang menjadi korban penyimpangan seksual ini.
Paus Fransiskus mengirimkan surat untuk para umat Katolik di seluruh dunia yang isinya mengutuk “kejahatan” pelecehan seksual oleh para pendeta. Paus Fransiskus juga meminta pertanggungjawaban, sebagai respons atas pengungkapan baru di Amerika Serikat tentang pelanggaran yang dilakukan Gereja Katolik selama puluhan tahun.
Secara terpisah laporan akhir tahun 2018 yang lalu menyatakan bahwa pelecehan Gereja Katolik ini terjadi di banyak lokasi di dunia, termasuk diantaranya adalah di Gereja-gereja Katolik di Australia, Amerika Serikat, Irlandia, Jerman, Belanda, India, dan Chile.
Perilaku sexual menyimpang dari para pelayan Tuhan ini sebenarnya telah terjadi selama bertahun-tahun, dalam jangka waktu yang sangat lama. Akan tetapi selama ini hanya dijadikan konsumsi internal dan tertutup. Akan tetapi dalam beberapa bulan terakhir, kebijakan informasi terbuka Tahta Suci Vatikan memberikan kesempatan untuk membuka informasi ini seluas mungkin dan mencoba mencari sebuah cara yang lebih baik untuk mencegah ancaman perilaku menyimpang ini di masa-masa yang akan datang.
Di Gereja Katolik, para pelayan Tuhan diijinkan untuk mengabdikan seluruh kehidupannya dengan tidak menikah. Para Pendeta, Biarawan/Biarawati berjanji tidak akan menikah dan mengendalikan syahwat dan hawa nafsunya untuk melayani Tuhan seumur hidup. Kebiasaan menghancurkan dominasi syahwat dan hawa nafsu dengan tidak menikah ini, juga menjadi kebiasaan lama di beberapa agama besar di dunia. Dengan menjadi pendeta, biarawan/biarawati mensucikan diri dan kehidupannya untuk Tuhan dengan menghancurkan syahwat dan hawa nafsunya dengan tidak menikah.
Praktek pengendalian dan penghancuran syahwah dan hawa nafsu ini dalam pandangan Agama-Agama besar dunia sangatlah berbeda dengan pandangan psikoanalitik. Psikoanalitik menganggap semua penyimpangan yang terjadi adalah sebuah proses yang terjadi secara psikologis dan akan dengan mudah diatasi oleh term term psikoanalitik. Akan tetapi definisi yang lebih mendalam dari Agama-agama besar dunia menganggap, definisi psikoanalitik ini adalah proses simplifikasi dari pengaruh syahwah dan hawa nafsu yang jauh lebih dalam dari sekedar permasalahan psikologis.
Agama Islam mengkritik praktek menghancurkan syahwah dan hawa nafsu yang tidak manusiawi dengan menghindari menikah ini dan menganjurkan agar melakukan pernikahan untuk mengendalikan syahwah dan hawa nafsu. Bahkan salah satu ajaran yang terkenal adalah praktek Poligami dengan mengijinkan satu orang laki-laki menikahi maksimal 4 orang wanita, dan menjadi praktek yang telah dilakukan ribuan tahun, sejak kemunculan Agama Islam 1500 tahun yang lalu.
Dominasi syahwah dan hawa nafsu terhadap kehidupan manusia diakui oleh Agama-Agama besar dunia. Pengaruh yang buruk dari syahwah dan hawa nafsu berbeda dengan definisi pengaruh buruk psikologis, karena syahwah dan hawa nafsu adalah karakter asli yang dimiliki oleh semua manusia, sedangkan psikologis hanyalah lapisan pengaruh yang ada di tataran fisik semata.
Sedemikian serius pengaruh syahwah dan hawa nafsu ini sehingga pembahasan pengendalian dan cara-cara mengatasi dominasinya menjadi inti dari semua ajaran Agama-Agama di seluruh dunia.
Akan tetapi banyak pembahasan mendalam tentang pengaruh syahwah dan hawa nafsu ini yang didegradasi oleh definisi karakter psikologis yang dibawa oleh ilmu-ilmu psikologis yang hanya membahas aspek lapisan terluar dari tubuh fisik manusia. (HIW)
Perilaku Seksual Menyimpang Termasuk Pelecehan Seksual menjadi bahaya yang mengancam kinerja layanan umat para pendeta dan biarawati di seluruh dunia.Pertemuan tingkat tinggi khusus yang dilakukan di Eropa Februari 2019 yang lalu menyerukan bahaya perilaku sex menyimpang ini ke seluruh dunia.
Sebuah laporan dari Amerika Serikat berjudul “Anderson Report on Child Sexual Abuse in the Archdiocese and Dioceses" yang berisi kurang lebih 200 halaman, melaporkan 390 pelecehan sex oleh pendeta dan yang mengejutkan dilakukan juga oleh para biarawati.
Laporan ini didukung oleh lembaga nirlaba BishopAccountability, yang menemukan transaksi sebesar 38 Milyar USD yang digunakan untuk membayar dan menutup kasus pelecehan sexual ini dari publik dan juga membayar mereka yang menjadi korban pelecehan.
Laporan detil para korban dan saksi juga diunggah oleh jaringan Fox News Network awal April (04/2019) yang lalu, yang disusul oleh laporan serupa yang diangkat oleh BBC News. Sebuah Majalah majalah perempuan yang terbit di Vatikan, Women Church World, Pada Februari lalu (02/2019) mengutuk pelecehan itu, dan menyatakan bahwa dalam beberapa kasus biarawati dipaksa menggugurkan anak-anak hasil hubungan dengan pendeta.
Secara personal Paus Franciskus dari Tahta Suci Vatican dengan berani mengakui kejadian ini, para biarawati dilecehkan oleh para pendeta, bahkan ada yang telah mencapai tingkat perbudakan seksual para biarawati oleh pendeta. Paus Franciskus menyatakan bahwa Paus sebelumnya Paus Benediktus dengan berani telah membubarkan kelompok biarawati yang menjadi korban penyimpangan seksual ini.

Secara terpisah laporan akhir tahun 2018 yang lalu menyatakan bahwa pelecehan Gereja Katolik ini terjadi di banyak lokasi di dunia, termasuk diantaranya adalah di Gereja-gereja Katolik di Australia, Amerika Serikat, Irlandia, Jerman, Belanda, India, dan Chile.
Perilaku sexual menyimpang dari para pelayan Tuhan ini sebenarnya telah terjadi selama bertahun-tahun, dalam jangka waktu yang sangat lama. Akan tetapi selama ini hanya dijadikan konsumsi internal dan tertutup. Akan tetapi dalam beberapa bulan terakhir, kebijakan informasi terbuka Tahta Suci Vatikan memberikan kesempatan untuk membuka informasi ini seluas mungkin dan mencoba mencari sebuah cara yang lebih baik untuk mencegah ancaman perilaku menyimpang ini di masa-masa yang akan datang.
Di Gereja Katolik, para pelayan Tuhan diijinkan untuk mengabdikan seluruh kehidupannya dengan tidak menikah. Para Pendeta, Biarawan/Biarawati berjanji tidak akan menikah dan mengendalikan syahwat dan hawa nafsunya untuk melayani Tuhan seumur hidup. Kebiasaan menghancurkan dominasi syahwat dan hawa nafsu dengan tidak menikah ini, juga menjadi kebiasaan lama di beberapa agama besar di dunia. Dengan menjadi pendeta, biarawan/biarawati mensucikan diri dan kehidupannya untuk Tuhan dengan menghancurkan syahwat dan hawa nafsunya dengan tidak menikah.
Praktek pengendalian dan penghancuran syahwah dan hawa nafsu ini dalam pandangan Agama-Agama besar dunia sangatlah berbeda dengan pandangan psikoanalitik. Psikoanalitik menganggap semua penyimpangan yang terjadi adalah sebuah proses yang terjadi secara psikologis dan akan dengan mudah diatasi oleh term term psikoanalitik. Akan tetapi definisi yang lebih mendalam dari Agama-agama besar dunia menganggap, definisi psikoanalitik ini adalah proses simplifikasi dari pengaruh syahwah dan hawa nafsu yang jauh lebih dalam dari sekedar permasalahan psikologis.
Agama Islam mengkritik praktek menghancurkan syahwah dan hawa nafsu yang tidak manusiawi dengan menghindari menikah ini dan menganjurkan agar melakukan pernikahan untuk mengendalikan syahwah dan hawa nafsu. Bahkan salah satu ajaran yang terkenal adalah praktek Poligami dengan mengijinkan satu orang laki-laki menikahi maksimal 4 orang wanita, dan menjadi praktek yang telah dilakukan ribuan tahun, sejak kemunculan Agama Islam 1500 tahun yang lalu.
Dominasi syahwah dan hawa nafsu terhadap kehidupan manusia diakui oleh Agama-Agama besar dunia. Pengaruh yang buruk dari syahwah dan hawa nafsu berbeda dengan definisi pengaruh buruk psikologis, karena syahwah dan hawa nafsu adalah karakter asli yang dimiliki oleh semua manusia, sedangkan psikologis hanyalah lapisan pengaruh yang ada di tataran fisik semata.
Sedemikian serius pengaruh syahwah dan hawa nafsu ini sehingga pembahasan pengendalian dan cara-cara mengatasi dominasinya menjadi inti dari semua ajaran Agama-Agama di seluruh dunia.
Akan tetapi banyak pembahasan mendalam tentang pengaruh syahwah dan hawa nafsu ini yang didegradasi oleh definisi karakter psikologis yang dibawa oleh ilmu-ilmu psikologis yang hanya membahas aspek lapisan terluar dari tubuh fisik manusia. (HIW)