Selasa, 23 April 2019

Salah Kaprah & Penyesatan Pendidikan Tinggi INDONESIA, Kualitas Pendidikan Tinggi Dinilai Dari Tinggi Gedung & Jumlah Mahasiswa

SALAH KAPRAH DAN PENYESATAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA KUALITAS PENDIDIKAN TINGGI DINILAI DARI TINGGI GEDUNG DAN JUMLAH MAHASISWA

Oleh :
Al Syarif Al Jalal

Devisiensi kualitas pendidikan tinggi Indonesia semakin parah terjadi sejak reformasi 1998. Berbagai standar dan pagar kualitas pendidikan tinggi yang mulai diubah oleh jajaran pengelola pendidikan tinggi di Indonesia (Baca Mendikti) menurunkan kualitas pendidikan tinggi Indonesia.

Perubahan standar kualitas yang dilakukan oleh dunia pendidikan tinggi Indonesia dilakukan dengan sangat drastis seusai gerakan reformasi tahun 1998. Beberapa kebijakan yang terkenal diantaranya adalah adanya pembatasan yang ketat pada jangka waktu pendidikan.Pendidikan setingkat S1 dibatasi tidak lebih dari kisaran 4 tahunan. Mahasiswa yang gagal menyelesaikan waktu pendidikan akan diusir dari Perguruan Tinggi alias DO. Kebijakan ini tidak pernah dikenal selama puluhan tahun beroperasinya pendidikan tinggi di Indonesia. Sehingga pada tahun 1998 pada saat gerakan reformasi banyak ditemukan mahasiswa yang telah menempuh waktu studi lebih dari 7 tahun bahkan 10 tahun sampai 12 tahun masa kuliah. 

Sebenarnya selama jangka waktu pendidikan yang panjang ini mahasiswa banyak memahami bagaimana negara dioperasikan oleh rezim penguasa, dan mulai memahami bagaimana nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang tidak sesuai dengan semangat pendidikan tinggi diinjak-injak dan tidak dihargai di lingkungan pengelola negara. 

Gerakan mahasiswa dengan pola yang sama terjadi pada tahun 1965 pada saat pergantian rezim Orde Lama menuju rezim Orde Baru. Mahasiswa yang memahami bagaimana ideologi Komunis tidak sesuai dengan ideologi Pancasila turun ke jalan dan membuat perubahan yang berarti pada pengelolan negara. Pembubaran PKI dan pelarangan seluruh ajaran Komunisme adalah buah yang paling manis dari gerakan mahasiswa tahun 1965. Meskipun dua tahun kemudian perubahan mendadak yang lebih besar terjadi pada saat Presiden Soekarno berhasil disingkirkan oleh rezim baru yang memanfaatkan 
perubahan mendasar yang terjadi di seluruh masyarakat akibat gerakan mahasiswa 1965.Perubahan rezim pada tahun 1967 merupakan cermin kegagalan Rezim Orde Lama mempertahankan semangat politik Revolusi di tengah berbagai gerakan global yang mencoba mengendalikan arah negara Proklamasi baru NKRI yang penuh gejolak dan bahkan menjadi inspirasi besar Gerakan Asia Afrika pada waktu itu.


Devisiensi Pendidikan Tinggi Sejak Tahun 1998
Devisiensi-devisiensi yang muncul pasca tahun 1998 ini muncul, karena pemerintah merasa kecolongan untuk yang kesekian kalinya pada gerakan mahasiswa (reformasi 1998), yang berhasil melakukan perubahan-perubahan fundamental dalam struktur politik dan pengelolaan negara. Presiden Soeharto yang menjadi lambang rezim Orde Baru  bahkan menyatakan mengundurkan diri sebagai dampak dari gerakan Reformasi 1998.

Gerakan mahasiswa yang melakukan berbagai protes terhadap buruknya pengelolaan negara pernah terjadi pada awal dekade 1980 an yang melahirkan Gerakan Mahasiswa yang gagal (Gerakan Malari). Gerakan mahasiswa ini menolak dan menyoroti dominasi mobil produksi Jepang yang menguasai pasar mobil dan industri mobil dalam negeri. 

Ribuan mahasiswa yang terlibat Gerakan ini diburu oleh rezim pemerintah dan keamaman di seluruh Indonesia. Pusat gerakan mahasiswa di Bandung, Jakarta, dan Mahasiswa menjadi sasaran dari gerakan pembersihan rezim berkuasa waktu itu. Dan tuntutan mahasiswa pada dominasi Mobil Jepang pun gagal diperjuangkan. Dominasi mobil produksi Jepang terus berlanjut puluhan tahun setelah gerakan mahasiswa yang gagal tersebut.

Akan tetapi Kegagalan Gerakan Malari ini tidak diulangi oleh Mahasiswa pada tahun 1998. Meski Pemerintah membubarkan Dewan Mahasiswa pada tahun 1991 an dan membentuk Senat Mahasiswa 
(SMPT) untuk membatasi gerakan mahasiswa, akan tetapi koordinasi yang kuat antar komponen mahasiswa yang solid di seluruh Indonesia membawa hasil sukses mundurnya Rezim pemerintahan orde baru pada tahun 1998. 

Sebagaimana gerakan mahasiswa sebelumnya, gerakan Mahasiswa 1998 juga ditunggangi oleh berbagai kepentingan lain. Gerakan mahasiswa 1998 ini kemudian ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan non idealisme yang merebak dan mengorbankan ribuan korban di seluruh tanah air. Akan tetapi gerakan reformasi 1998 berhasil membuka kebebasan ekspresi dan kebebasan pers Nasional dari kebijakan breidel yang pada saat pemerintahan Orde Baru merupakan kebijakan yang sangat populer. Akan tetapi gerakan kebebasan berekspresi ini mulai dibatasi kembali setelah tafsir UU ITE tentang kebebasan berekspresi menemukan padanannya pada produksi berita bohong (Hoax) yang menyertai pemanfaatan media sosial dan produk teknologi informasi lainnya. Gerakan Reformasi 1998 mengalami antiklimaksnya saat kebijakan-kebijakan baru soal Hoax dan penangkapan-penangkapan warga negara dilakukan dengan berbagai alasan, yang sejatinya adalah bagian dari upaya pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat hasil gerakan reformasi 1998.


Komersialisasi dan Pendangkalan Kualitas Pendidikan Tinggi 
Devisiensi paling parah yang dilakukan pada lingkungan pendidikan tinggi adalah pada saat ide komersialisasi Pendidikan Tinggi mulai diperkenalkan pasca reformasi 1998. Ide komersialisai pendidikan tinggi berasimilasi dengan ide pembatasan waktu studi dan penambahan fokus kegiatan mahasiswa pada bidang akademis semata-mata. Gema Tridhrama pendidikan tinggi (1) Akademis (2) Penelitian dan (3) pengabdian masyarakat menemukan bentuk asimilasi yang baru. Penelitian yang berbasis pada stanadarisasi Index Scopus dan pengabdian masyarakat tanpa bentuk realisasi relasi akademisi masyarakat memperparah devisiensi Pendidikan Tinggi Indonesia. 

Setelah Reformasi 1998, di Kampus-Kampus besar Indonesia mulai ditemukan jajaran belasan, puluhan, bahkan ratusan mobil mewah milik mahasiswa yang bisa memasuki jalur akademis Perguruan Tinggi lewat jalur khusus (orang berduit) yang muncul pasca reformasi 1998. Jalur Pendidikan tinggi mulai "dirusak" oleh jalur non akademis, yang mengenalkan sebuah gaya baru pendidikan tinggi, pendidikan tinggi yang komersil. 

Biaya masuk pendidikan tinggi mulai naik drastis, dan mulailah tampak perlombaan dalam menentukan tarif tinggi pendidikan tinggi di Indonesia.Fakultas Kedokteran harus ditebus dengan deposito 200 juta yang dikunci, tidak boleh dikurangi di perbankan. Tanpa syarat itu jangan berharap akan bisa meneruskan menapaki memasuki jalur Fakultas Kedokteran. Kecuali mau mengakui sebagai kelompok warga negara miskin yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kelurahan. 

Kondisi seperti ini tidak pernah ditemui pada lingkungan pendidikan tinggi sebelum tahun 1998. Fakultas Kedokteran di Perguruan Tinggi hanya perlu ditebus dengan uang pendaftaran 450 ribu pada tahun 1991, dan pemerintah membantu dengan suka rela pendidikan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat ini. Bandingkan nilai 450 ribu dengan 200 juta yang ada pada saat ini. Betapa pendidikan tinggi yang bermarwah pada intelektualitas bagi peradaban dilecehkan oleh komersialiasisi industri dan kepentingan para pemilik modal. 

Gelar yang pernah menjadi gelar terhormat bagi lulusan Perguruan tinggi, menjadi sebuah predikat yang saat ini menjadi identik dengan komersialisasi dan biaya tinggi. Dan kualitas pendidikan tinggi pun menjadi pertanyaan baru yang sangat sering diajukan pada saat ini.

Kesadaran inilah yang kemudian menghasilkan sebuah kesepakatan baru dalam dunia pendidikan nasional termasuk dunia pendidikan tinggi Nasional. Kesepakatan baru ini adalah kata-kata baru KOMPETENSI yang diperkenalkan oleh Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Gelar dan ijazah hanya akan menjadi pelengkap semata, yang akan menjadi perhatian utama lingkungan dunia usaha dan masyarakat terhadap lulusan Perguruan Tinggi adalah kompetensi. Lulusan Perguruan tinggi harus memiliki sertifikasi uji kompetensi. Tanpa itu maka ijazah dan gelar tidak akan diperhitungkan di dunia usaha nasional dan masyarakat.

Memalukan, Kualitas Diukur Oleh Jumlah Mahasiswa Dan Tinggi Gedung
Tidak mengherankan jika kualitas pendidikan tinggi dinilai dari kuantitas atau jumlah mahasiswa dan megahnya gedung kuliah. Perguruan tinggi kami memiliki gedung tingkat 19 untuk mendukung pendidikan tinggi. Jumlah mahasiswa kami ada lebih dari 30 ribu mahasiswa.

Menggelikan melihat perkembangan Pendidikan tinggi di Indonesia. Yang lebih menggelikan lagi adalah melihat respons masyarakat terhadap term term kuantitas tanpa kualitas yang disebar luaskan oleh media yang juga tidak memahami konteks marwah pendidikan di Indonesia.

Apakah terdapat korelasi yang jelas antara kuantitas gedung, dan mahasiswa dengan kualitas Pendidikan Tinggi ? Bandingkan perkembangan yang aneh di Indonesia ini dengan lokasi pendidikan tinggi besar di seluruh dunia. Atau memang telah terjadi sebuh pergeseran penting di Perguruan Tinggi di Indonesia, bahwa kemewahan gedung dan ramainya mahasiswa adalah standar kualitas baru pendidikan tinggi diIndonesia.

Lihat Tajuk Rencana Dan Opini Lebih Lanjut :