JAKARTA, Informatika Newsline (04/08/2020)

Selanjutnya, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta Cucu Kurnia menyatakan, pelanggar aturan akad nikah akan dikenakan sanksi denda sebesar 10 juta rupiah, sesuai Peraturan Gubernur nomor 51 tahun 2020 tentang PSBB transisi. Dan Apabila akad dilakukan dalam gedung, maka pengelola gedung juga akan termasuk yang akan mendapatkan sanksi.
Hal itu tertuang dalam Keputusan Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jaya Nomor 211 Tahun 2020, Cucu Ahmad Kurnia, per 31 Juli 2020 dan Perpanjangan berlaku 31 Juli 2020 sampai 14 Agustus 2020. Apabila terjadi peningkatan kasus yang signifikan, semua kegiatan pariwisata yang sudah beroperasi pada masa PSBB transisi dihentikan kembali
Sampai dengan awal Agustus ini, Jakarta masih melarang operasional bioskop, tempat fitness, permainan bowling, ice skating, dan berbagai lokasi tempat berkumpul publik lainnya.
Di Kota Solo, batasan tamu pernikahan lebih longgar. Meski dalam Edaran Kementerian Agama dibatasi hanya 30 orang, Walikota Solo mengijinkan 50 orang tamu hadir dalam acara pernikahan. Dan bahkan aturan ini diperluas kepada penggunaan gedung sampoai kapasitas 50 % dari Gedung.
Sebelumnya secara terpisah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, pada pertengahan Maret yang lalu melalui Surat Edaran Nomor P-002/DJ.III/Hk.00.7/03/2020 tentang Imbauan & Pelaksanaan Protokol Penanganan Covid-19 pada Area Publik di Lingkungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, membatasi jumlah tamu yang hadir hanyalah 10 orang. Akan tetapi jumlah ini berubah setelah masa PSBB berubah menjadi masa PSBB transisi atau New Normal. Akan tetapi aturan-aturan yang dibuat selama ini hanya sebatas himbauan, tanpa ada sanksi yang ketat seperti Pem Prov DKI Jaya.
Standar aturan dan sanksi yang ketat ini mungkin hanya diberlakukan di Jakarta saja. Karena di beberapa wilayah aturan seperti ini cenderung dilanggar. Beberapa waktu yang lalu misalnya Walikota Surabaya, Risma dengan terang-terangan menyatakan bahwa Surabaya yang dalam katagori hitam sebelumnya menjadi zona hijau (03/08). Meskipun pernyataan salah Risma kemudian diklarifikasi oleh Dinas Kesehatan, akan tetapi pernyataan Risma sebenarnya menjadi cerminan ketidaktaatan warga Surabaya pada protokol kesehatan yang ketat.
Belasan kegiatan yang melanggar protokol kesehatan ditemukan oleh pers di Surabaya dan Jawa Timur. Pertemuan selamatan, pengajian, dan bahkan pasar malam dengan jumlah keramaian lebih dari 30 orang juga telah dilakukan. Bahkan di beberapa masjid telah nekad dilakukan sholat Jum'at dengan melanggar batasan-batasan protokol yang ditentukan di atas. Jumlah korban terinfeksi terus naik. Akan tetapi jumlah ini tidak meliputi mereka yang nekad melakukan pelanggaran protokol kesehatan sepeti di atas. Karena para pelanggar ptotokol tidak terpantau oleh pihak pemerintah daerah atau cenderung diabaikan, karena dianggap hal yang biasa dan tidak terlalu penting.
Kluster kematian terbesar diperkirakan akan muncul dari kegiatan nekad yang dilakukan oleh masyarakat dan diabaikan oleh pemerintaj daerah seperti ini. Kurangnya pemahaman yang baik dan lemahnya pendampingan penguatan oleh pemerintah daerah menjadi sumber utama merebak luasnya praktek pelanggaran protokol kesehatan seperti ini.
Peneliti dari ITB memperkirakan jumlah korban tewas akan mencapai 2 juta orang di seluruh Indonesia dengan skenario sembrono seperti yang dijalankan pada masa pasca PSBB ini. Mereka yang melakukan kegiatan melanggar protokol dengan melakukan selamatan, pasar malam, dan kegiatan kumpul-kumpul skala besar di atas tidak pernah dilakukan rapid dan swap test. Masyarakat cenderung mengabaikan, demikian juga sementara kelompok pemuka agama lokal, dan pemuka masyarakat lokal.
Menyedihkan, karena kelalaian ini akan membawa Indonesia ke puncak korban yang sangat besar. Seperti yang telah terjadi di India (lebih dari 1,5 juta terinfeksi dan 35 ribu tewas), Brasil (sama sama tropis nya dengan Indonesia, 2,5 juta terinfeksi dan mendekati 90 ribu kematian) (VIJAY)