Selasa, 04 Agustus 2020

(cc) Nadiem Makarim Versus Status Quo (Baca : Diknas) (cc)

Oleh 
Syarif Wijaya*


Nadiem Makarim adalah Anak muda yang sukses. Menjadi Ceo layanan transportasi On Line melejitkannya menjadi Menteri. Tapi kesuksesan Transportasi On Line itu terjadi sebelum Serangan Covid-19. Bayangkan jika pemilihan kabinet diundur pada Bulan-bulan setelah serangan Covid. Lalu Unicorn Gojeknya terpukul keras. Apakah Nadiem mungkin akan terpilih sebagai kandidat Calon Menteri ?

Mungkin ceO Ruang Guru yang akan dipilih menjadi Menteri ? Karena mendapatkan kucuran dana Trilyunan dari para shareholder pendukung nya (Bukan termasuk policy dari pemerintah).Dan punya potensi perkembangan ruang guru yang sangat cepat lebih dari layanan transportasi On Line yang hampir mati suri karena Covid 19. Begitulah jika pemilihan seorang pejabat negara berdasarkan prestasi di bidang Bisnis. Bukan aspek-aspek kepemimpinan apalagi aspek-aspek kenegaraan yang menjadi pertimbangan.

Akan tetapi masalahnya bukan itu. Beberapa hari terakhir ini Manteri Nadiem mendapat serangan beruntun dari berbagai penjuru, yang mengkritik habis seluruh kebijakannya yang revolusioner.

Kalau perlu, tidak usah sekolah, kita semua akan lulus dari sekolah dasar dan menengah. Setuju. Model pengelolaan pendidikan dasar dan menengah kita, memang perlu dievaluasi, di titik akhir pelaksanaan pendidikannya. UN harus dihapus, begitu usulan beberapa pengusul. Bagus juga ya ?

Kuliah disederhanakan saja sehingga gelar Sarjana, Master, dan Doktor tidak begitu-begitu amat. Kenapa untuk mendapatkan gelar Sarjana saja butuh waktu bertahun-tahun. Bahkan belasaan tahun ?

Arah Vokasi pendidikan Nasional harus mampu mempersiapkan mahasiswa untuk langsung masuk dunia industri saja. Sistem yang selama digunakan lebih banyak menciptakan Sarjana pengangguran. Jadi konsepnya harus diubah, begitu proposal beberapa pembuat konsep. 

Butir-butir usulan revolusioner Pendidikan Nasional Nadiem Makarim cukup banyak. Dan pekerjaan professional partikelir gaya Go Jek nya Nadiem pasti akan membuat jungkir balik para ASN di Departemen Pendidikan Nasional.

Nadiem Makarim, Lulusan MBA Universitas Harvard ini mungkin tidak masuk gang Harvard yang selama bertahun-tahun yang lalu mengendalikan jalannya pemerintahan di negeri ini. Akan tetapi ide-ide briliant Nadiem sangatlah millenial, jauh dari ide-ide pendidikan jahiliah kuno yang selama ini dipelihara di Indonesia.

Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani

Tampaknya adalah semboyan yang telah cukup kuno digunakan saat ini. Bukan bermaksud membully semboyan keramat Ki Hajar Dewantoro, akan tetapi semboyan itu, selama belasan tahun bahkan puluhan tahun, telah diselewengkan  oleh dunia pendidikan di Indonesia.

Tafsir millenial semboyan Ki Hajar Dewantoro coba diungkapkan dengan ekspresi yang lebih terbuka maju dan modern oleh Nadiem Makarim. Konsep konsep yang disampaikan oleh Nadiem sangat millenial. Dan tantangan berikutnya adalah merealisasikan konsep tersebut.

Realitas yang harus dihadapi oleh Nadiem adalah bahwa Departemen Pendidikan Nasional adalah organ pemerintah bukan organisasi bisnis. ASN bukanlah pegawai perusahaan swasta. Negara yang menggaji mereka bukan Menteri. Kalau partikelir CEO bisa menghentikan dan memecat pegawainya kapan saja. Tapi ASN ? Aparatur Sipil Negara, Tidak semudah itu. ASN bukanlah pegawai Kementerian atau pegawainya Menteri. Yang menggaji mereka adalah negara.

Dan seperti tidak tahu saja, Departemen Pendidikan Nasional adalah hutan belantara yang telah lama dikuasai oleh raja-raja hutan lokal yang selama bertahun, belasan bahkan puluhan tahun telah mengendalikan dan menguasai. Departemen ini adalah salah satu Departemen paling korup sepanjang sejarah. Sebutan Departemen Paling korup pantas disandang, paling tidak berdasarkan salah satu profil yang dibuat oleh ICW.

Salah satu analis pendidikan yang melakukan penelitian dalam salah satu jurnal, mengangkat data ICW ini dan menyimpulkan secara sederhana (Titik Handayani, LIPI, Jurnal Kependudukan Vol/No.4/2). Akan tetapi kesimpulan yang hanya melihat 70 kasus ini harus lebih dipertajam dengan data yang disajikan oleh peneliti ini sendiri.

Karena dalam data, ternyata kasus korupsi, terkait pendidikan dan Departemen Pendidikan bukan hanya 70, tapi 126 kasus atau 88,73 %. Jadi Lebih dari 88 % kasus korupsi terjadi di bidang pendidikan. Profil yang disampaikan oleh ICW ini mungkin telah berubah. Bisa bertambah baik akan tetapi bisa juga bertambah buruk.

Alih-alih memahami struktur parah yang ada di Departemen Pendidikan, perhatian publik malah dibawa ke arah yang salah. Memori publik malah diberi sajian penangkapan Djoko Chandra atau seorang Ibu-Ibu yang membodohi Bank BNI. Mata publik diarahkan ke tempat yang lain. Kasus Djoko Chandra yang rumit secara hukum diangkat, demikian juga kasus Ibu-Ibu yang berhasil meng hack Bank BNI dengan kasus dokumen eksport palsu.

Sementara di pusat korupsi, Departemen Pendidikan, publik diberikan sajian pertengakaran antara Muhammadiah, NU, PGRI versus Pak Nadiem Makariem.

Nadiem Makariem yang masih muda dan hijau dari pengalaman kenegaraan dan pengelolaan manajemen di lingkungan pemerintahan dihajar dengan serangan bertubi-tubi.

Dan kemudian diskusi pun mnengarah pada serangan eksistensi Jabatan Menteri Nadiem dibandingkan dengan membicarakan masalah esensi dalam pengelolaan pendidikan Nasional. Dan serangan juga diarahkan ke Sampurna Foundation dan Tanoto yang tidak tahu menahu akar permasalahan pendidikan yang sebenarnya.

Muhammadiah memang telah puluhan tahun ikut mendukung pendidikan nasional. Ratusan sekolah sudah dibangun di seluruh Indonesia bersama dengan Aisyiah dan lembaga yang lain. Akan tetapi Muhammadiah yang ada sekarang apakah masih sama dengan semangat K.H. Ahmad Dahlan.

Hidup hidupilah Muhammadiah, akan tetapi janganlah 
mencari penghidupan di Muhammadiah

Sebuah semboyan yang diserukan oleh K.H. Ahmad Dahlan kepala seluruh anggota Muhammadiah. Akan tetapi Muhammadiah yang ada sekarang, pendidikan dan layanan yang dikelola oleh Muhammadiah sekarang,telah sangat jauh dari nasihat yang diberikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Berapa banyak mereka yang sekarang hidup dari Muhammadiah ?

Lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh Muhammadiah telah berubah menjadi gurita bisnis pendidikan bukan sekedar layanan pendidikan saja. Bahkan dalam beberapa kasus di daerah, Lembaga pendidikan ini mempraktekkan kegiatan yang jauh dari good governance. Membajak tenaga pendidikan, kampanye pendidikan yang buruk, dan cara-cara pengelolaan pendidikan lain (yang memalukan) yang bahkan berubah dari niat suci awal K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiah telah berubah dari lembaga perjuangan publik, menjadi sebuah organ semi bisnis atau bahkan memang telah menjadi organ bisnis.

Demikian halnya dengan NU, dan PGRI. Hampir tidak ada organisasi pendidikan di Indonesia yang saat ini benar benar tulus melayani pendidikan Indonesia. Tanpa imbalan uang, tak akan ada layanan pendidikan.

Lucunya debat dan diskusi publik diarahkan kemudian untuk ikut menyerang Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation.Tidak banyak yang memahami bahwa ketentuan regulasi tentang Foundation atau Yayasan di Indonesia telah mengalami perubahan drastis. Dalam ketentuan regulasi terbaru, Yayasan di Indonesia adalah milik dari Negara. Negara ikut memiliki semua jenis Yayasan yang ada di Indonesia.

Tidak lagi ada yang bisa mengakui bahwa Yayasan adalah milik perseorangan atau organisasi. Undang undang Yayasan telah memperbarui skema dan struktur Yayasan, setelah kasus Yayasan di jaman Orde Baru, yang dituduh memperkaya pihak tertentu. Negara saat ini menjadi pemilik utama Yayasan. Dalam hal terjadi sebuah  kondisi tertentu, maka negara pun diijinkan mengambil alih seluruh asset dan bahkan kepemilikan dan operasionalisasi Yayasan.

Permasalahan mendasar bukan ada di situ. Yang dihadapi Nadiem bukanlah itu. Bukan sekedar siapa yang merasa lebih berjasa dalam melayani negeri. Atau sekedar ide yang tidak komprehensif. Atau sebuah gagasan yang memicu perang politik.

Akan tetapi yang dihadapi Nadiem adalah sebuah organisasi Departemen yang sudah semi bobrok, dilingkupi praktek korupsi, dan sistem yang telah berakar kuat, yang memang membutuhkan sebuah gebrakan baru yang lebih segar dan ide-ide.

Jadi, Bung Nadiem Makarim, tugas yang anda hadapi memang tidak ringan. Departemen Pendidikan Nasional yang anda pimpin adalah sebuah entitas besar yang kronis. Bukan ide bagus anda yang salah. Akan tetapi lingkungan yang memang harus anda rubah. Dan mengubah sebuah lingkungan pamong projo atau ASN bukanlah hal yang mudah. Tidak seperti partikelir yang sederhana dan ringan. Tidak setuju, pecat... Tapi kemampuan social enggineering lebih harus dikedepankan, manajemen konflik harus diasah dengan lebih baik.

Bukan ide bagus anda yang salah. Akan tetapi memang ada sesuatu yang memang telah salah secara fundamental. Dan selama hal fundamental itu tidak diubah atau tidak dilayani, apapun yang akan disampaikan, tak akan pernah memuaskan. Sistem fundamental yang ada akan melakukan gerakan penolakan dan pukulan balik yang tidak ringan.

Jadi Pak Nadiem Makarim, tugas anda memang tidak ringan.


*Syarif Wijaya, penulis adalah anggota utama team evaluasi pendidikan (EvaTIK, Diknas)


First Publisheb, 4 August 2020, 02.59 PM